KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
rahmatnya dan karuniaNyalah sehingga penulisan makalah ini yang berjudul Siklus
Menstruasi dapat terselesaikan dengan baik tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun demi penyempurnaannya.
Harapan penulis, kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
.
29-September 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Permasalahan
C. Tujuan Penulisan
D. Penyebab Dan Mengatasi Nyeri Haid
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Menstruasi
B. Proses menstruasi
C. Infeksi Selama Menstruasi
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada umumnya
wanita mengalami ketidaknyamanan fisik selama beberapa hari sebelum periode
menstruasi mereka datang. Kira-kira setengah dari seluruh wanita menderita
akibat dismenore, atau menstruasi yang menyakitkan. Hal ini khususnya sering
terjadi awal-awal masa dewasa. Gejala-gejala dari gangguan menstruasi dapat
berupa payudara yang melunak, puting susu yang nyeri, bengkak, dan mudah tersinggung.
Beberapa wanita mengalami gangguan yang cukup berat seperti keram yang
disebabkan oleh kontraksi otot-otot halus rahim, sakit kepala, sakit pada
bagian tengah perut, gelisah, letih, hidung tersumbat, dan ingin menangis.
Dalam bentuk yang paling berat, sering melibatkan depresi dan kemarahan,
kondisi ini dikenal sebagai gejala datang bulan atau pre menstrual syndrom
(PMS), dan mungkin membutuhkan penanganan medis
Beberapa wanita mengalami sebuah kondisi
yang dikenal sebagai amenore, atau kegagalan bermenstruasi selama masa waktu
perpanjangan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor termasuk
stres, hilang berat badan, olahraga berat secara teratur, atau penyakit.
Sebaliknya, beberapa wanita mengalami aliran menstruasi yang berlebihan, kondisi
yang dikenal sebagai menoragi. Tidak hanya aliran darah menjadi banyak, namun
dapat berlangsung lebih lama dari periode normal.
Seorang wanita jika awal kedatangan
menstruasi, hal ini bisa menjadi saat yang mengecewakan baginya. Anak-anak
perempuan yang tidak mengenal tubuh mereka dan proses reproduksi dapat mengira
bahwa menstruasi merupakan bukti adanya penyakit atau bahkan hukuman akan
tingkah laku yang buruk. Anak-anak perempuan yang tidak diajari untuk
menganggap menstruasi sebagai fungsi tubuh normal dapat mengalami rasa malu dan
perasaan kotor saat menstruasi pertama mereka. Mak hal ini, dibutuhkan media
sebagai bahan penjelasan atau gambaran tentang siklus menstruasi agar dapat di
mengerti khususnya pada wanita.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka
rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana gambaran tentang siklus
menstruasi
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah
untuk mengetahui gambaran tentang siklus menstruasi.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN MENSTRUASI
Menstruasi atau haid mengacu kepada
pengeluaran secara periodik darah dan sel-sel tubuh dari vagina yang berasal
dari dinding rahim wanita. Menstruasi dimulai saat pubertas dan menandai
kemampuan seorang wanita untuk mengandung anak, walaupun mungkin faktor-faktor
kesehatan lain dapat membatasi kapasitas ini. Menstruasi biasanya dimulai
antara umur 10 dan 16 tahun, tergantung pada berbagai faktor, termasuk
kesehatan wanita, status nutrisi, dan berat tubuh relatif terhadap tinggi tubuh.
Menstruasi berlangsung kira-kira sekali sebulan sampai wanita mencapai usia 45
- 50 tahun, sekali lagi tergantung pada kesehatan dan pengaruh-pengaruh
lainnya. Akhir dari kemampuan wanita untuk bermenstruasi disebut menopause dan
menandai akhir dari masa-masa kehamilan seorang wanita. Panjang rata-rata daur
menstruasi adalah 28 hari, namun berkisar antara 21 hingga 40 hari. Panjang
daur dapat bervariasi pada satu wanita selama saat-saat yang berbeda dalam
hidupnya, dan bahkan dari bulan ke bulan tergantung pada berbagai hal, termasuk
kesehatan fisik, emosi, dan nutrisi wanita tersebut.
Menstruasi
merupakan bagian dari proses reguler yang mempersiapkan tubuh wanita setiap
bulannya untuk kehamilan. Daur ini melibatkan beberapa tahap yang dikendalikan
oleh interaksi hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus, kelenjar dibawah otak
depan, dan indung telur. Pada permulaan daur, lapisan sel rahim mulai
berkembang dan menebal. Lapisan ini berperan sebagai penyokong bagi janin yang
sedang tumbuh bila wanita tersebut hamil. Hormon memberi sinyal pada telur di
dalam indung telur untuk mulai berkembang. Tak lama kemudian, sebuah telur
dilepaskan dari indung telur wanita dan mulai bergerak menuju tuba Falopii
terus ke rahim. Bila telur tidak dibuahi oleh sperma pada saat berhubungan
intim (atau saat inseminasi buatan), lapisan rahim akan berpisah dari dinding
uterus dan mulai luruh serta akan dikeluarkan melalui vagina. Periode
pengeluaran darah, dikenal sebagai periode menstruasi (atau mens, atau haid),
berlangsung selama tiga hingga tujuh hari. Bila seorang wanita menjadi hamil,
menstruasi bulanannya akan berhenti. Oleh karena itu, menghilangnya menstruasi
bulanan merupakan tanda (walaupun tidak selalu) bahwa seorang wanita sedang
hamil. Kehamilan dapat di konfirmasi dengan pemeriksaan darah sederhana Fisiologi
Menstruasi
Pada siklus menstruasi normal, terdapat produksi
hormon-hormon yang paralel dengan pertumbuhan lapisan rahim untuk mempersiapkan
implantasi (perlekatan) dari janin (proses kehamilan). Gangguan dari siklus
menstruasi tersebut dapat berakibat gangguan kesuburan, abortus berulang, atau
keganasan. Gangguan dari sikluas menstruasi merupakan salah satu alasan seorang
wanita berobat ke dokter.
Siklus menstruasi normal berlangsung selama 21-35
hari, 2-8 hari adalah waktu keluarnya darah haid yang berkisar 20-60 ml per
hari. Penelitian menunjukkan wanita dengan siklus mentruasi normal hanya
terdapat pada 2/3 wanita dewasa, sedangkan pada usia reproduksi yang ekstrim
(setelah menarche <pertama kali terjadinya menstruasi> dan menopause)
lebih banyak mengalami siklus yang tidak teratur atau siklus yang tidak
mengandung sel telur. Siklus mentruasi ini melibatkan kompleks
hipotalamus-hipofisis-ovarium.
Gambar 1. Kompleks
Hipotalamus-Hipofisis-Ovarium
2.
Proses Menstruasi
Siklus menstruasi berkaitan dengan
pembentukan sel telur dan pembentukkan endometrium. Lamanya siklus haid yang
normal atau dianggap siklus haid klasik adalah 28 hari ditambah atau dikurangi
dua sampai tiga hari. Siklus ini dapat berbeda pada wanita yang sehat dan
normal. Siklus haid mulai teratur jika wanita sudah berusia 25 tahun. Siklus
ini dikendalikan oleh hormone-hormon reproduksi yang dihasilkan oleh
hipotalamus, hipofisis, dan ovarium.
Fase dalam siklus
haid, yaitu:
1.
Fase Folikel
Pada akhir siklus
menstruasi, hipotalamus mengeluarkan hormone gonadotropin. Hormone ini akan
merangsang hipofisis untuk melepaskan FSH (Follicle Stimulating Hormone) atau
hormone pemicu pertumbuhan folikel. Pada awal siklus berikutnya pada hari
pertama sampai ke-14,folikel akan melanjutkan perkembangannya karena pengaruh
FSH dalam ovarium. Setelah itu terbentuk folikel yang sudah masak (folikel de
Graaf) dan menghasilkan hormone estrogen yang berfungsi menumbuhkan endometrium
dinding rahim dan memicu sekresi lender
b. Fase Estrus
Kenaikan estrogen
digunakan untuk mempertahankan pertumbuhan dan merangsang terjadinya pembelahan
sel-sel endometrium uterus. Selain itu juga berperan dalam menghambat
pembentukan FSH oleh hipofisis untuk menghasilkan LH (Luteinizing Hormone) yang
berperan dalam merangsang folikel de graaf yang telah masak untuk melakukan
ovulasi dari ovarium.
Ovulasi umumnya berlangsung pada hari ke-14 dari siklus haid. Biasanya pada setiap ovulasi dihasilkan 1 oosit sekunder.
Ovulasi umumnya berlangsung pada hari ke-14 dari siklus haid. Biasanya pada setiap ovulasi dihasilkan 1 oosit sekunder.
2.
Fase Luteal
LH merangsang folikel
yang telah kosong untuk membentuk korpus atau uteum (badan kuning). Selanjutnya
korpus ini menghasilkan progestron yang mengakibatkan endometrium berkembang
tebal dan lembut serta banyak pembuluh darah. Selama 10 hari setelah
ovulasi,progesterone berfungsi mempersiapkan uterus untuk kemungkinan hamil.
Uterus pada tahap ini siap menerima dan member sel telur yang telah dibuahi
(zigot).
Jika tidak terjadi
fertilisasi corpus luteum berubah menjadi corpus albicans dan berhenti
menghasilkan progesterion
3.
Fase Menstruasi / Perdarahan
Apabila fertilisasi
tidak terjadi,produksi progesterone mulai menurun pada hari ke-26. Corpus
luteum (badan kuning) berdegenerasi dan lapisan uterus bersama dinding dalam
rahim luruh (mengelupas) pada hari ke-28 sehingga terjadi pendarahan.
Biasanya haid
berlangsung selama 7 hari. Setelah itu dinding uterus pulih kembali.
Selanjutnya karena tidak ada lagi progesterone yang dibentuk,maka FSH dibentuk
lagi kemudian terjadilah proses oogenesis,dan siklus haid dimulai kembali.
Siklus haid akan berhenti jika terjadi kehamilan.Namun ada yang menyebutkan
bahwa pada tiap siklus, dikenal dengan 3 masa utama,yaitu:
a. Masa haid selama 2
sampai 8 hari
Pada waktu itu
endometrium dilepas, sedangkan pengeluaran hormon-hormon ovarium paling rendah
b. Masa proliferasi
sampai hari ke-14
Endometrium tumbuh
kembali, disebut juga endometrium melakukan proliferasi. Antara hari ke-12
sampai ke-14 dapat terjadi pelepasan ovum dari ovarium yang disebut ovulasi.
c.Masa
sekresi
Terjadi perubahan dari korpus rubrum
menjadi korpus luteum yang mengeluarkan progesterone. Di bawah pengaruh
progesteron ini,kelenjar endometrium yang tumbuh berkelok-kelok mulai
bersekresi dan mengeluarkan getah yang mengandung glikogen dan lemak. Pada
akhir masa ini stroma endometrium berubah kea rah sel-sel desidua, terutama
yang berada di seputar pembuluh-pembuluh arterial. Keadaan ini memudahkan
adanya nidasi (menempelnya ovum pada dinding rahim setelah dibuahi).
C. Infeksi Selama
Menstruasi
Setiap wanita akan mengalami ketidaknyamanan
fisik selama proses pembuangan dari dalam rahim yang lebih kerap di kenai
dengan proses menstruasi. Menstruasi merupakan proses yang dialami tubuh dalam
mempersiapkan diri untuk kegiatan produktifitas selanjutnya.
Proses
menstruasi yang teratur merupakan tanda utama kesehatan dan kesuburan
produktifitas pada tubuh setiap wanita - Suatu proses alamiah yang telah
berlangsung sejak zaman dahulu.
Oleh karena itu, proses menstruasi pada wanita kerap dianggap sebagai sesuatu yang dianggap suci dan patut di hormati.
Oleh karena itu, proses menstruasi pada wanita kerap dianggap sebagai sesuatu yang dianggap suci dan patut di hormati.
Gejala umum infeksi
bakteria yang sering dijumpai selama menstruasi:
1.
Demam
2.
Radang pada permukaan vagina
3.
Gatal-gatal pada kulit
4.
Radang vagina
5.
Radang Servik (Rongga Mulut Rahim)
6.
Radang Selaput Rahim
7.
Leucorrhea / Keputihan
h. Rasa panas atau
sakit pada bagian bawah perut
8.
Demam, pusing dan mual, sering buang air kecil, rasa sa kit
saat buang air kecil, nyeri/sakit pada bagian pinggang dan kelelahan juga
merupakan berbagai gejala infeksi bakteria selama menstruasi yang dapat
menyebabkan penyakit kandungan yang lebih serius.
Mengapa wanita mudah
terjangkit infeksi bakteria selama menstruasi?
Itu dikarenakan lebih
kurang sebanyak 107 bakteri per sentimeter persegi ditemukan diatas pembalut
wanita biasa, kondisi demikianlah yang membuat pembalut biasa menjadi sarang
pertumbuhan bakteri merugikan walau hanya setelah 2 jam pemakaian.
Kesalahan yg kerap
dilakukan saat pemakaian pembalut wanita :
1.
Membuka dan memasang pembalut tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu
2.
Menyimpan pembalut ditempat lembab seperti kamar mandi
3.
Menggunakan pembalut yg telah kadaluarsa
4.
Pemilihan pembalut tanpa mempertimbangkan kualitas pembalut
5.
Memakai pembalut yg mengandung bahan penghilang bau atau
pewangi
6.
Pemakaian pembalut yg terlalu lama
D.
Sistem hormonal yang mempengaruhi siklus menstruasi adalah:
1.
FSH-RH (follicle stimulating
hormone releasing hormone) yang dikeluarkan hipotalamus untuk merangsang
hipofisis mengeluarkan FSH
1.
LH-RH (luteinizing hormone
releasing hormone) yang dikeluarkan hipotalamus untuk merangsang hipofisis
mengeluarkan LH
1.
PIH (prolactine inhibiting
hormone) yang menghambat hipofisis untuk mengeluarkan prolaktin
Pada setiap
siklus menstruasi, FSH yang dikeluarkan oleh hipofisis merangsang perkembangan
folikel-folikel di dalam ovarium (indung telur). Pada umumnya hanya 1 folikel
yang terangsang namun dapat perkembangan dapat menjadi lebih dari 1, dan
folikel tersebut berkembang menjadi folikel de graaf yang membuat
estrogen. Estrogen ini menekan produksi FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan
hormon yang kedua yaitu LH. Produksi hormon LH maupun FSH berada di bawah
pengaruh releasing hormones yang disalurkan hipotalamus ke hipofisis.
Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap
hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang baik akan
menyebabkan pematangan dari folikel de graaf yang mengandung estrogen. Estrogen
mempengaruhi pertumbuhan dari endometrium. Di bawah pengaruh LH, folikel de
graaf menjadi matang sampai terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terjadi,
dibentuklah korpus rubrum yang akan menjadi korpus luteum, di bawah pengaruh
hormon LH dan LTH (luteotrophic hormones, suatu hormon gonadotropik).
Korpus luteum menghasilkan progesteron yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
kelenjar endometrium. Bila tidak ada pembuahan maka korpus luteum berdegenerasi
dan mengakibatkan penurunan kadar estrogen dan progesteron. Penurunan kadar
hormon ini menyebabkan degenerasi, perdarahan, dan pelepasan dari endometrium.
Proses ini disebut haid atau menstruasi. Apabila terdapat pembuahan dalam masa
ovulasi, maka korpus luteum tersebut dipertahankan
Terapi khusus meliputi semua perawatan
mengetahui penyebab dismenorea sekunder seperti
1.
Antibiotik, misalnya dalam pengobatan penyakit seksual
menular atau radang panggul
2.
Bedah, misalnya untuk fibroid, kista ovarium, dll
3.
Terapi hormonal, misalnya dalam mengobati endometriosis
4.
Anti-depressants, misalnya dalam mengatasi PMS
5.
Suplemen gizi, misalnya tiamin (vitamin B1), magnesium,
vitamin E, seng, omega-3 asam lemak, dll, telah terbukti untuk menghilangkan
atau mengurangi nyeri haid, terutama pada dismenore primer. Tiamin, pada banyak
wanita, telah terbukti memberikan hasil positif mengatasi dismenorea primer,
karena tidak hanya menekan rasa nyeri belaka.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Siklus menstruasi berkaitan dengan pembentukan sel telur dan pembentukkan endometrium. Lamanya siklus mesntruasi yang normal atau dianggap siklus haid klasik adalah 28 hari ditambah atau dikurangi dua sampai tiga hari. Siklus ini dapat berbeda pada wanita yang sehat dan normal. Siklus menstruasi mulai teratur jika wanita sudah berusia 25 tahun. Siklus ini dikendalikan oleh hormone-hormon reproduksi yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofisis, dan ovarium.
Fase dalam siklus menstruasi, yaitu:
a. Fase Folikel
b. Fase Estrus
c. Fase Luteal
d. Fase Menstruasi / Perdarahan
B. Saran
Disarankan kepada semua wanita agar mengetahui dan bagaimana caranya menghadapai masa menstruasi.
Siklus menstruasi berkaitan dengan pembentukan sel telur dan pembentukkan endometrium. Lamanya siklus mesntruasi yang normal atau dianggap siklus haid klasik adalah 28 hari ditambah atau dikurangi dua sampai tiga hari. Siklus ini dapat berbeda pada wanita yang sehat dan normal. Siklus menstruasi mulai teratur jika wanita sudah berusia 25 tahun. Siklus ini dikendalikan oleh hormone-hormon reproduksi yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofisis, dan ovarium.
Fase dalam siklus menstruasi, yaitu:
a. Fase Folikel
b. Fase Estrus
c. Fase Luteal
d. Fase Menstruasi / Perdarahan
B. Saran
Disarankan kepada semua wanita agar mengetahui dan bagaimana caranya menghadapai masa menstruasi.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi,biran(2000).kesehatan
reproduksi,obstetri &ginekologi FKUI,jakarta
Hanifa wik n
josastro (ilmu kandungan)
1. Kelenjar
Payudara
Kelenjar payudara
merupakan derivatif sel epitel. Struktur anatomi payudara secara garis besar
tersusun dari jaringan lemak, lobus dan lobulus (setiap kelenjar terdiri dari
15-25 lobus) yang memproduksi cairan susu, serta ductus lactiferous yang
berhubungan dengan glandula lobus dan lobulus yang berfungsi mengalirkan cairan
susu, di samping itu juga terdapat jaringan penghubung (konektif), pembuluh
darah dan limphe node (Hondermarck, 2003; Bergman et al., 1996). Lobulus dan
duktus payudara sangat responsif terhadap estrogen karena sel epitel lobulus
dan duktus mengekspresikan reseptor estrogen (ER) yang menstimulasi
pertumbuhan, diferensiasi, perkembangan kelenjar payudara, dan mammogenesis
(Van De Graaff and Fox, 1995).
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar payudara merupakan suatu seri peristiwa yang melibatkan interaksi berbagai macam tipe sel yang berbeda yang dimulai sejak kelahiran dan terus berlangsung di bawah pengaruh siklus menstruasi dan proses gestasi. Rangkaian peristiwa tersebut diatur oleh interaksi yang kompleks antara berbagai hormon steroid dan faktor pertumbuhan, baik dari sel yang berdekatan dengannya maupun dari komponen dalam lingkungan sel tersebut (faktor pertumbuhan). Stimulasi tersebut akan mempengaruhi perubahan morfologi dan metabolismenya. Kerentanan kelenjar payudara terhadap tumorigenesis dipengaruhi oleh perkembangan normal dari kelenjar itu sendiri yang dikarakterisasi dengan berbagai perubahan dalam proliferasi dan diferensiasi sel payudara (Guyton and Hall, 1996; Kumar, et al., 2000).
Penelitian menunjukkan bahwa sistem endokrin yang mengontrol perkembangan payudara mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara. Keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi dan kematian sel-sel kelenjar payudara berperan penting dalam proses perkembangan tersebut. Gangguan dalam keseimbangan ini akan dapat mengakibatkan terjadinya kanker (Kumar et al., 2000). Beberapa faktor endokrin yang berkaitan dengan faktor risiko adalah obesitas, karena dalam keadaan obesitas terdapat peningkatan produksi estrogen jaringan adipase payudara; peningkatan kadar estrogen endogen dalam darah; kadar androstenedion dan testosteron dalam darah yang lebih tinggi dari normal yang bisa diubah menjadi estrogen estron dan kemudian estradiol; peningkatan kadar estrogen dan androgen dalam urin.
Estrogen merupakan suatu hormon steroid yang memberikan karakteristik seksual pada wanita, mempengaruhi berbagai organ dan jaringan di antaranya terlibat pada regulasi proliferasi sel dan diferensiasi baik pada wanita atau pria. Estrogen menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan sistem duktus yang luas, dan deposit lemak pada payudara (Guyton and Hall, 1996). Diduga paparan yang berlebihan dari estrogen endogen dalam fase kehidupan perempuan berkontribusi dan mungkin merupakan faktor penyebab terjadinya kanker payudara (Yager and Davidson, 2006
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar payudara merupakan suatu seri peristiwa yang melibatkan interaksi berbagai macam tipe sel yang berbeda yang dimulai sejak kelahiran dan terus berlangsung di bawah pengaruh siklus menstruasi dan proses gestasi. Rangkaian peristiwa tersebut diatur oleh interaksi yang kompleks antara berbagai hormon steroid dan faktor pertumbuhan, baik dari sel yang berdekatan dengannya maupun dari komponen dalam lingkungan sel tersebut (faktor pertumbuhan). Stimulasi tersebut akan mempengaruhi perubahan morfologi dan metabolismenya. Kerentanan kelenjar payudara terhadap tumorigenesis dipengaruhi oleh perkembangan normal dari kelenjar itu sendiri yang dikarakterisasi dengan berbagai perubahan dalam proliferasi dan diferensiasi sel payudara (Guyton and Hall, 1996; Kumar, et al., 2000).
Penelitian menunjukkan bahwa sistem endokrin yang mengontrol perkembangan payudara mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara. Keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi dan kematian sel-sel kelenjar payudara berperan penting dalam proses perkembangan tersebut. Gangguan dalam keseimbangan ini akan dapat mengakibatkan terjadinya kanker (Kumar et al., 2000). Beberapa faktor endokrin yang berkaitan dengan faktor risiko adalah obesitas, karena dalam keadaan obesitas terdapat peningkatan produksi estrogen jaringan adipase payudara; peningkatan kadar estrogen endogen dalam darah; kadar androstenedion dan testosteron dalam darah yang lebih tinggi dari normal yang bisa diubah menjadi estrogen estron dan kemudian estradiol; peningkatan kadar estrogen dan androgen dalam urin.
Estrogen merupakan suatu hormon steroid yang memberikan karakteristik seksual pada wanita, mempengaruhi berbagai organ dan jaringan di antaranya terlibat pada regulasi proliferasi sel dan diferensiasi baik pada wanita atau pria. Estrogen menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan sistem duktus yang luas, dan deposit lemak pada payudara (Guyton and Hall, 1996). Diduga paparan yang berlebihan dari estrogen endogen dalam fase kehidupan perempuan berkontribusi dan mungkin merupakan faktor penyebab terjadinya kanker payudara (Yager and Davidson, 2006
2. Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai prevalensi cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria maupun wanita, hanya saja prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi. Diperkirakan pada tahun 2006 di Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian pada pria (Anonimc, 2006). Di Indonesia, kanker payudara menempati urutan ke dua setelah kanker leher rahim (Tjindarbumi, 1995). Kejadian kanker payudara di Indonesia sebesar 11% dari seluruh kejadian kanker (Siswono, 2003).
Pada umumnya tumor pada payudara bermula dari sel epitelial, sehingga kebanyakan kanker payudara dikelompokkan sebagai karsinoma (keganasan tumor epitelial). Sedangkan sarkoma, yaitu keganasan yang berangkat dari jaringan penghubung, jarang dijumpai pada payudara. Berdasarkan asal dan karakter histologinya kanker payudara dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu in situ karsinoma dan invasive karsinoma. Karsinoma in situ dikarakterisasi oleh lokalisasi sel tumor baik di duktus maupun di lobular, tanpa adanya invasi melalui membran basal menuju stroma di sekelilingnya. Sebaliknya pada invasive karsinoma, membran basal akan rusak sebagian atau secara keseluruhan dan sel kanker akan mampu menginvasi jaringan di sekitarnya menjadi sel metastatik (Hondermarck, 2003).
Kanker payudara pada umumnya berupa ductal breast cancer yang invasif dengan pertumbuhan tidak terlalu cepat (Tambunan, 2003). Kanker payudara sebagian besar (sekitar 70%) ditandai dengan adanya gumpalan yang biasanya terasa sakit pada payudara, juga adanya tanda lain yang lebih jarang yang berupa sakit pada bagian payudara, erosi, retraksi, pembesaran dan rasa gatal pada bagian puting, juga secara keseluruhan timbul kemerahan, pembesaran dan kemungkinan penyusutan payudara. Sedangkan pada masa metastasis dapat timbul gejala nyeri tulang, penyakit kuning atau bahkan pengurangan berat badan (Bosman, 1999). Sel kanker payudara dapat tumbuh menjadi benjolan sebesar 1 cm2 dalam waktu 8-12 tahun (Tambunan, 2003). Pada tumor yang ganas, benjolan ini besifat solid, keras, tidak beraturan, dan nonmobile. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi edema kulit, kemerahan, dan rasa panas pada jaringan payudara (Lindley dan Michaud, 2005).
Penyebab kanker payudara sangat beragam, tetapi ada sejumlah faktor risiko yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini yaitu asap rokok, konsumsi alkohol, umur pada saat menstruasi pertama, umur saat melahirkan pertama, lemak pada makanan, dan sejarah keluarga tentang ada tidaknya anggota keluarga yang menderita penyakit ini (Macdonald dan Ford,1997). Hormon tampaknya juga memegang peranan penting dalam terjadinya kanker payudara. Estradiol dan atau progresteron dalam daur normal menstruasi meningkatkan resiko kanker payudara. Hal ini terjadi pada kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen, dimana memang 50 % kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen (Gibbs, 2000).
Meskipun mekanisme molekuler yang mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara dan progresi dari penyakit ini belum dapat diketahui secara persis namun aktivasi onkogen yang disebabkan oleh modifikasi genetik (mutasi, amplifikasi atau penyusunan ulang kromosomal) atau oleh modifikasi epigenetik (ekspresi berlebihan) dilaporkan mampu mengarahkan pada terjadinya multiplikasi dan migrasi sel. Beberapa onkogen telah diketahui mempengaruhi karsinogenesis kanker payudara, diantaranya Ras, c-myc, epidermal growth factor receptor (EGFR, erb-B1), dan erb-B2 (HER-2/neu) (Greenwald, 2002). Perubahan ekspresi maupun fungsi dari gen supresor tumor seperti BRCA1, BRCA2 dan p53 tidak sepenuhnya bertanggungjawab dalam tingginya prevalensi kanker payudara spontan. Mutasi atau ketiadaan BRCA1 terdapat pada <10% kanker payudara, sementara itu mutasi p53 terjadi pada lebih dari 30% kanker payudara (Bouker et al., 2005).
Diperkirakan perkembangan tumor dari perubahan seluler pertama kali sampai kemudian terlihat melalui mammografi memerlukan waktu 6 sampai 8 tahun. Adanya perubahan sel kanker payudara menjadi sel yang ganas telah membentuk heterogenisitas dalam lingkungan di dalam sel. Selain itu, inflamasi lokal yang terjadi pada kasus kanker payudara mengindikasikan aktivitas sel sistem imun dan interaksinya dengan tumor (Hondermarck, 2003).
Deteksi kanker payudara dapat dilakukan dengan mammograms yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor secara dini. Stadium kanker payudara dapat diklasifikaskan berdasarkan diameter tumor, keterlibatan nodus lymphe, dan ada tidaknya jaringan yang terkena invasi metastasis kanker. Faktor prognostik pemeriksaan kanker payudara juga meliputi status nodus lymphe, kondisi dan diferensiasi tumor, dan kehadiran reseptor estrogen (Macdonald dan Ford, 1997).
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai prevalensi cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria maupun wanita, hanya saja prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi. Diperkirakan pada tahun 2006 di Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian pada pria (Anonimc, 2006). Di Indonesia, kanker payudara menempati urutan ke dua setelah kanker leher rahim (Tjindarbumi, 1995). Kejadian kanker payudara di Indonesia sebesar 11% dari seluruh kejadian kanker (Siswono, 2003).
Pada umumnya tumor pada payudara bermula dari sel epitelial, sehingga kebanyakan kanker payudara dikelompokkan sebagai karsinoma (keganasan tumor epitelial). Sedangkan sarkoma, yaitu keganasan yang berangkat dari jaringan penghubung, jarang dijumpai pada payudara. Berdasarkan asal dan karakter histologinya kanker payudara dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu in situ karsinoma dan invasive karsinoma. Karsinoma in situ dikarakterisasi oleh lokalisasi sel tumor baik di duktus maupun di lobular, tanpa adanya invasi melalui membran basal menuju stroma di sekelilingnya. Sebaliknya pada invasive karsinoma, membran basal akan rusak sebagian atau secara keseluruhan dan sel kanker akan mampu menginvasi jaringan di sekitarnya menjadi sel metastatik (Hondermarck, 2003).
Kanker payudara pada umumnya berupa ductal breast cancer yang invasif dengan pertumbuhan tidak terlalu cepat (Tambunan, 2003). Kanker payudara sebagian besar (sekitar 70%) ditandai dengan adanya gumpalan yang biasanya terasa sakit pada payudara, juga adanya tanda lain yang lebih jarang yang berupa sakit pada bagian payudara, erosi, retraksi, pembesaran dan rasa gatal pada bagian puting, juga secara keseluruhan timbul kemerahan, pembesaran dan kemungkinan penyusutan payudara. Sedangkan pada masa metastasis dapat timbul gejala nyeri tulang, penyakit kuning atau bahkan pengurangan berat badan (Bosman, 1999). Sel kanker payudara dapat tumbuh menjadi benjolan sebesar 1 cm2 dalam waktu 8-12 tahun (Tambunan, 2003). Pada tumor yang ganas, benjolan ini besifat solid, keras, tidak beraturan, dan nonmobile. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi edema kulit, kemerahan, dan rasa panas pada jaringan payudara (Lindley dan Michaud, 2005).
Penyebab kanker payudara sangat beragam, tetapi ada sejumlah faktor risiko yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini yaitu asap rokok, konsumsi alkohol, umur pada saat menstruasi pertama, umur saat melahirkan pertama, lemak pada makanan, dan sejarah keluarga tentang ada tidaknya anggota keluarga yang menderita penyakit ini (Macdonald dan Ford,1997). Hormon tampaknya juga memegang peranan penting dalam terjadinya kanker payudara. Estradiol dan atau progresteron dalam daur normal menstruasi meningkatkan resiko kanker payudara. Hal ini terjadi pada kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen, dimana memang 50 % kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen (Gibbs, 2000).
Meskipun mekanisme molekuler yang mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara dan progresi dari penyakit ini belum dapat diketahui secara persis namun aktivasi onkogen yang disebabkan oleh modifikasi genetik (mutasi, amplifikasi atau penyusunan ulang kromosomal) atau oleh modifikasi epigenetik (ekspresi berlebihan) dilaporkan mampu mengarahkan pada terjadinya multiplikasi dan migrasi sel. Beberapa onkogen telah diketahui mempengaruhi karsinogenesis kanker payudara, diantaranya Ras, c-myc, epidermal growth factor receptor (EGFR, erb-B1), dan erb-B2 (HER-2/neu) (Greenwald, 2002). Perubahan ekspresi maupun fungsi dari gen supresor tumor seperti BRCA1, BRCA2 dan p53 tidak sepenuhnya bertanggungjawab dalam tingginya prevalensi kanker payudara spontan. Mutasi atau ketiadaan BRCA1 terdapat pada <10% kanker payudara, sementara itu mutasi p53 terjadi pada lebih dari 30% kanker payudara (Bouker et al., 2005).
Diperkirakan perkembangan tumor dari perubahan seluler pertama kali sampai kemudian terlihat melalui mammografi memerlukan waktu 6 sampai 8 tahun. Adanya perubahan sel kanker payudara menjadi sel yang ganas telah membentuk heterogenisitas dalam lingkungan di dalam sel. Selain itu, inflamasi lokal yang terjadi pada kasus kanker payudara mengindikasikan aktivitas sel sistem imun dan interaksinya dengan tumor (Hondermarck, 2003).
Deteksi kanker payudara dapat dilakukan dengan mammograms yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor secara dini. Stadium kanker payudara dapat diklasifikaskan berdasarkan diameter tumor, keterlibatan nodus lymphe, dan ada tidaknya jaringan yang terkena invasi metastasis kanker. Faktor prognostik pemeriksaan kanker payudara juga meliputi status nodus lymphe, kondisi dan diferensiasi tumor, dan kehadiran reseptor estrogen (Macdonald dan Ford, 1997).
Awalnya, proses
metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi atau overekspresi
beberapa protein, misalnya reseptor estrogen (ER) dan c-erbB-2 (HER2) yang
merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles, 2001).
Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen dan
sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan
(Gibbs, 2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalam metastasis, juga
berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development).
Estrogen berikatan dengan reseptor estrogen (ER) membentuk kompleks reseptor
aktif dan mempengaruhi transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen
dapat memacu ekspresi protein yang berperan dalam cell cycle progression,
seperti Cyclin D1, CDK4 (cyclin-dependent kinases4), Cyclin E dan CDK2.
Aktivasi reseptor estrogen juga berperan dalam aktivasi beberapa onkoprotein
seperti Ras, Myc, dan CycD1 (Foster et al., 2001). Aktivasi protein ini
mengakibatkan adanya pertumbuhan berlebih melalui aktivasi onkoprotein yang
lain seperti PI3K, Akt, Raf dan ERK. Protein Myc merupakan protein faktor
transkripsi yang penting untuk pertumbuhan, sedang CycD1 merupakan protein
penting dalam kelangsungan cell cycle progression sehingga adanya aktivasi
tersebut akan mengakibatkan perkembangan kanker yang dipercepat (Hanahan and
Weinberg, 2000). Estrogen akan menstabilkan keberadaan protein Myc. Protein ini
sendiri berfungsi dalam menghambat kemampuan CKIKIPI untuk menghambat Cdk2
(Foster et al., 2001), padahal komplek Cyclin E/Cdk2 bertanggung jawab pada
proses transisi sel dari fase G1 memasuki fase S (Pan et al., 2002).
Selain itu, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan memacu transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2, dan p53. Akan tetapi pada penderita kanker payudara (yang umumnya telah lewat masa menopause) gen-gen tersebut telah mengalami perubahan akibat dari hiperproliferasi sel-sel payudara selama perkembangannya sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya (Adelmann dkk., 2000; Clarke, 2000). Gen BRCA 1 terletak pada kromosom 17q21, terdiri dari 22 ekson dan panjangnya kira-kira 100 kb. Gen ini merupakan tumor suppresor gene. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi gen ini sebesar 85 % dan pada wanita usia di bawah 50 tahun sebesar 50 %. Gen BRCA 2 mempunyai ukuran 70 kb dan terdiri dari 27 ekson, terletak pada kromosom 13q12. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi pada gen ini sebesar 80-90 % pada wanita. Gen p53 secara normal menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa yang terlibat dalam kontrol pertumbuhan sel. Terjadinya mutasi pada gen ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol (Gondhowiarjo, 2004). Hilangnya 4p, 4q dan 5q pada BRCA1 serta 7p dan 17q24 pada BRCA2 dapat digunakan untuk membedakan antara kanker payudara yang disebabkan faktor keturunan atau penyebab umum lainnya (Borg, 2005). Mutasi pada BRCA1 adalah delesi ekson 11 sedangkan pada BRCA2 adalah delesi ekson 12 dan 3 (Franks and Teich, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran BRCA1 dan BRCA2 diantaranya dapat menjaga kestabilan dan integritas genetik melalui kemampuannya untuk melakukan homolog rekombinasi. Protein tersebut terlibat pula dalam perbaikan kerusakan DNA akibat oksidasi melalui interaksinya dengan RAD50, RAD51, dan protein-protein lain yang merespon kerusakan DNA. Fungsi BRCA1 dalam perbaikan DNA berkaitan dengan protein GADD45 (Growth Arrest and DNA Damage) yang di-upregulasi ketika terjadi overekspresi BRCA1. Saat terjadi kerusakan DNA, BRCA1 akan terlepas dari pasangannya, yaitu CtIP (CtBP-Interacting Protein) sehingga BRCA1 dapat mengaktifkan GADD45 yang akan menjaga stabilitas genomik (Wickremasighe and Hoffbrand, 1999).
Selain itu, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan memacu transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2, dan p53. Akan tetapi pada penderita kanker payudara (yang umumnya telah lewat masa menopause) gen-gen tersebut telah mengalami perubahan akibat dari hiperproliferasi sel-sel payudara selama perkembangannya sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya (Adelmann dkk., 2000; Clarke, 2000). Gen BRCA 1 terletak pada kromosom 17q21, terdiri dari 22 ekson dan panjangnya kira-kira 100 kb. Gen ini merupakan tumor suppresor gene. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi gen ini sebesar 85 % dan pada wanita usia di bawah 50 tahun sebesar 50 %. Gen BRCA 2 mempunyai ukuran 70 kb dan terdiri dari 27 ekson, terletak pada kromosom 13q12. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi pada gen ini sebesar 80-90 % pada wanita. Gen p53 secara normal menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa yang terlibat dalam kontrol pertumbuhan sel. Terjadinya mutasi pada gen ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol (Gondhowiarjo, 2004). Hilangnya 4p, 4q dan 5q pada BRCA1 serta 7p dan 17q24 pada BRCA2 dapat digunakan untuk membedakan antara kanker payudara yang disebabkan faktor keturunan atau penyebab umum lainnya (Borg, 2005). Mutasi pada BRCA1 adalah delesi ekson 11 sedangkan pada BRCA2 adalah delesi ekson 12 dan 3 (Franks and Teich, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran BRCA1 dan BRCA2 diantaranya dapat menjaga kestabilan dan integritas genetik melalui kemampuannya untuk melakukan homolog rekombinasi. Protein tersebut terlibat pula dalam perbaikan kerusakan DNA akibat oksidasi melalui interaksinya dengan RAD50, RAD51, dan protein-protein lain yang merespon kerusakan DNA. Fungsi BRCA1 dalam perbaikan DNA berkaitan dengan protein GADD45 (Growth Arrest and DNA Damage) yang di-upregulasi ketika terjadi overekspresi BRCA1. Saat terjadi kerusakan DNA, BRCA1 akan terlepas dari pasangannya, yaitu CtIP (CtBP-Interacting Protein) sehingga BRCA1 dapat mengaktifkan GADD45 yang akan menjaga stabilitas genomik (Wickremasighe and Hoffbrand, 1999).
Salah satu model
sel kanker payudara yang banyak digunakan dalam penelitian adalah sel MCF7 dan
sel T47D. Sel MCF-7 adalah sel kanker payudara yang diperoleh dari pleural
effusion breast adenocarcinoma seorang pasien wanita Kaukasian berumur 69
tahun, golongan darah O, dengan Rh positif. Sel menunjukkan adanya diferensiasi
pada jaringan epitel mammae termasuk diferensiasi pada sintesis estradiol.
Media dasar penumbuh sel MCF-7 adalah media EMEM terformulasi. Untuk memperoleh
media kompleks, maka ditambahkan 0,01 mg/ml bovine insulin dan FBS hingga
konsentrasi akhir FBS dalam media C dan dengan kadar CO2 5%. Sel°menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu 37 MCF-7 tergolong cell line
adherent (ATCC, 2008b) yang mengekspresikan reseptor estrogen alfa (ER-α),
resisten terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002), dan tidak mengekspresikan
caspase-3 (Onuki dkk., 2003; Prunet dkk., 2005). Karakteristik tersebut
membedakannya dengan sel kanker payudara lain, seperti sel T47D.
Sel kanker payudara T47D merupakan continous cell lines yang morfologinya seperti sel epitel yang diambil dari jaringan payudara seorang wanita berumur 54 tahun yang terkena ductal carcinoma. Sel ini dapat ditumbuhkan dengan media dasar penumbuh RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640. Untuk memperoleh media kompleks, maka ditambahkan 0,2 U/ml bovine insulin dan Foetal Bovine Serum (FBS) hingga konsentrasi akhir FBS dalam media menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu 37°C dengan kadar CO2 5%. Sel ini termasuk cell line adherent (ATCC, 2008a) yang mengekspresikan ER-β (Zampieri dkk., 2002) dibuktikan dengan adanya respon peningkatan proliferasi sebagai akibat pemaparan 17β-estradiol (Verma dkk., 1998). Sel ini memiliki doubling time 32 jam dan diklasifikasikan sebagai sel yang mudah mengalami diferensiasi karena memiliki reseptor estrogen + (Wozniak and Keely, 2005). Sel ini sensitif terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002) dan mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zinc binding domain L2) gen p53. Loop L2 ini berperan penting pada pengikatan DNA dan stabilisasi protein. Jika p53 tidak dapat berikatan dengan response element pada DNA, kemampuannya untuk regulasi cell cycle dapat berkurang atau hilang (Schafer et al., 2000). Pada sel tumor dengan mutasi p53, diketahui terjadi pengurangan respons terhadap agen-agen yang menginduksi apoptosis dan tumor-tumor tersebut kemungkinan menjadi resisten terhadap obat antineoplastik yang memiliki target pengrusakan DNA (Crawford, 2002).
Sel kanker payudara T47D merupakan continous cell lines yang morfologinya seperti sel epitel yang diambil dari jaringan payudara seorang wanita berumur 54 tahun yang terkena ductal carcinoma. Sel ini dapat ditumbuhkan dengan media dasar penumbuh RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640. Untuk memperoleh media kompleks, maka ditambahkan 0,2 U/ml bovine insulin dan Foetal Bovine Serum (FBS) hingga konsentrasi akhir FBS dalam media menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu 37°C dengan kadar CO2 5%. Sel ini termasuk cell line adherent (ATCC, 2008a) yang mengekspresikan ER-β (Zampieri dkk., 2002) dibuktikan dengan adanya respon peningkatan proliferasi sebagai akibat pemaparan 17β-estradiol (Verma dkk., 1998). Sel ini memiliki doubling time 32 jam dan diklasifikasikan sebagai sel yang mudah mengalami diferensiasi karena memiliki reseptor estrogen + (Wozniak and Keely, 2005). Sel ini sensitif terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002) dan mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zinc binding domain L2) gen p53. Loop L2 ini berperan penting pada pengikatan DNA dan stabilisasi protein. Jika p53 tidak dapat berikatan dengan response element pada DNA, kemampuannya untuk regulasi cell cycle dapat berkurang atau hilang (Schafer et al., 2000). Pada sel tumor dengan mutasi p53, diketahui terjadi pengurangan respons terhadap agen-agen yang menginduksi apoptosis dan tumor-tumor tersebut kemungkinan menjadi resisten terhadap obat antineoplastik yang memiliki target pengrusakan DNA (Crawford, 2002).
RESUME MAMAE
OLEH
RORI KARMILA SARI
DIII KEBIDANAN
LOKAL IB
RESUME EPIDIDIMIS
OLEH
ENDANG SRI REZEKI
D III KEBIDANAN
LOKAL IB
Epididimis
Epididimis
merupakan saluran berkelok-kelok di dalam skrotum yang keluar dari testis.
Epididimis berjumlah sepasang di sebelah kanan dan kiri. Epididimis berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara sperma sampai sperma menjadi matang dan
bergerak menuju vas deferens.
Vas
deferens
Vas
deferens atau saluran sperma (duktus deferens) merupakan saluran lurus yang
mengarah ke atas dan merupakan lanjutan dari epididimis. Vas deferens tidak
menempel pada testis dan ujung salurannya terdapat di dalam kelenjar prostat.
Vas deferens berfungsi sebagai saluran tempat jalannya sperma dari epididimis
menuju kantung semen atau kantung mani (vesikula seminalis).
Saluran
ejakulasi
Saluran
ejakulasi merupakan saluran pendek yang menghubungkan kantung semen dengan
uretra. Saluran ini berfungsi untuk mengeluarkan sperma agar masuk ke dalam
uretra.
Uretra
Uretra
merupakan saluran akhir reproduksi yang terdapat di dalam penis. Uretra
berfungsi sebagai saluran kelamin yang berasal dari kantung semen dan saluran
untuk membuang urin dari kantung kemih.
Kelenjar
Asesoris
Selama
sperma melalui saluran pengeluaran, terjadi penambahan berbagai getah kelamin
yang dihasilkan oleh kelenjar asesoris. Getah-getah ini berfungsi untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dan pergerakakan sperma. Kelenjar asesoris
merupakan kelenjar kelamin yang terdiri dari vesikula seminalis, kelenjar
prostat dan kelenjar Cowper.
Vesikula
seminalis
Vesikula
seminalis atau kantung semen (kantung mani) merupakan kelenjar berlekuk-lekuk
yang terletak di belakang kantung kemih. Dinding vesikula seminalis
menghasilkan zat makanan yang merupakan sumber makanan bagi sperma.
Kelenjar
prostate
Kelenjar
prostat melingkari bagian atas uretra dan terletak di bagian bawah kantung
kemih. Kelenjar prostat menghasilkan getah yang mengandung kolesterol, garam
dan fosfolipid yang berperan untuk kelangsungan hidup sperma.
Kelenjar
Cowper
Kelenjar
Cowper (kelenjar bulbouretra) merupakan kelenjar yang salurannya langsung
menuju uretra. Kelenjar Cowper menghasilkan getah yang bersifat alkali (basa).
Organ
Reproduksi Luar
Organ
reproduksi luar pria terdiri dari penis dan skrotum.
Penis
Penis
terdiri dari tiga rongga yang berisi jaringan spons. Dua rongga yang terletak
di bagian atas berupa jaringan spons korpus kavernosa. Satu rongga lagi berada
di bagian bawah yang berupa jaringan spons korpus spongiosum yang membungkus
uretra. Uretra pada penis dikelilingi oleh jaringan erektil yang
rongga-rongganya banyak mengandung pembuluh darah dan ujung-ujung saraf perasa.
Bila ada suatu rangsangan, rongga tersebut akan terisi penuh oleh darah
sehingga penis menjadi tegang dan mengembang (ereksi).
Skrotum
Skrotum
(kantung pelir) merupakan kantung yang di dalamnya berisi testis. Skrotum
berjumlah sepasang, yaitu skrotum kanan dan skrotum kiri. Di antara skrotum
kanan dan skrotum kiri dibatasi oleh sekat yang berupa jaringan ikat dan otot
polos (otot dartos). Otot dartos berfungsi untuk menggerakan skrotum sehingga dapat
mengerut dan mengendur. Di dalam skrotum juga tedapat serat-serat otot yang
berasal dari penerusan otot lurik dinding perut yang disebut otot kremaster.
Otot ini bertindak sebagai pengatur suhu lingkungan testis agar kondisinya
stabil. Proses pembentukan sperma (spermatogenesis) membutuhkan suhu yang
stabil, yaitu beberapa derajat lebih rendah daripada suhu tubuh.
Spermatogenesis
Spermatogenesis
terjadi di dalam di dalam testis, tepatnya pada tubulus seminiferus.
Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel germinal dengan melalui proses
pembelahan dan diferensiasi sel, yang mana bertujuan untuk membentu sperma
fungsional. Pematangan sel terjadi di tubulus seminiferus yang kemudian
disimpan di epididimis.
Dinding
tubulus seminiferus tersusun dari jaringan ikat dan jaringan epitelium germinal
(jaringan epitelium benih) yang berfungsi pada saat spermatogenesis.
Pintalan-pintalan tubulus seminiferus terdapat di dalam ruang-ruang testis
(lobulus testis). Satu testis umumnya mengandung sekitar 250 lobulus testis.
Tubulus seminiferus terdiri dari sejumlah besar sel epitel germinal (sel epitel
benih) yang disebut spermatogonia (spermatogonium = tunggal). Spermatogonia
terletak di dua sampai tiga lapisan luar sel-sel epitel tubulus seminiferus.
Spermatogonia terus-menerus membelah untuk memperbanyak diri, sebagian dari
spermatogonia berdiferensiasi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu untuk
membentuk sperma.
Pada
tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia yang bersifat diploid (2n atau
mengandung 23 kromosom berpasangan), berkumpul di tepi membran epitel germinal
yang disebut spermatogonia tipe A. Spermatogenia tipe A membelah secara mitosis
menjadi spermatogonia tipe B. Kemudian, setelah beberapa kali membelah, sel-sel
ini akhirnya menjadi spermatosit primer yang masih bersifat diploid.
Setelah
melewati beberapa minggu, setiap spermatosit primer membelah secara meiosis
membentuk dua buah spermatosit sekunder yang bersifat haploid. Spermatosit
sekunder kemudian membelah lagi secara meiosis membentuk empat buah spermatid.
Spermatid merupakan calon sperma yang belum memiliki ekor dan bersifat haploid
(n atau mengandung 23 kromosom yang tidak berpasangan). Setiap spermatid akan
berdiferensiasi menjadi spermatozoa (sperma). Proses perubahan spermatid
menjadi sperma disebut spermiasi.
Ketika
spermatid dibentuk pertama kali, spermatid memiliki bentuk seperti sel-sel
epitel. Namun, setelah spermatid mulai memanjang menjadi sperma, akan terlihat
bentuk yang terdiri dari kepala dan ekor.
Kepala
sperma terdiri dari sel berinti tebal dengan hanya sedikit sitoplasma. Pada
bagian membran permukaan di ujung kepala sperma terdapat selubung tebal yang
disebut akrosom. Akrosom mengandung enzim hialuronidase dan proteinase yang
berfungsi untuk menembus lapisan pelindung ovum.
Pada
ekor sperma terdapat badan sperma yang terletak di bagian tengah sperma. Badan
sperma banyak mengandung mitokondria yang berfungsi sebagai penghasil energi
untuk pergerakan sperma.
Semua
tahap spermatogenesis terjadi karena adanya pengaruh sel-sel sertoli yang
memiliki fungsi khusus untuk menyediakan makanan dan mengatur proses
spermatogenesis.
Hormon
pada Pria
Proses
spermatogenesis distimulasi oleh sejumlah hormon, yaitu testoteron, LH
(Luteinizing Hormone), FSH (Follicle Stimulating Hormone), estrogen dan hormon
pertumbuhan.
Testoteron
Testoteron
disekresi oleh sel-sel Leydig yang terdapat di antara tubulus seminiferus.
Hormon ini penting bagi tahap pembelahan sel-sel germinal untuk membentuk
sperma, terutama pembelahan meiosis untuk membentuk spermatosit sekunder.
LH
(Luteinizing Hormone)
LH
disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. LH berfungsi menstimulasi sel-sel
Leydig untuk mensekresi testoteron
FSH
(Follicle Stimulating Hormone)
FSH
juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior dan berfungsi
menstimulasi sel-sel sertoli. Tanpa stimulasi ini, pengubahan spermatid menjadi
sperma (spermiasi) tidak akan terjadi.
Estrogen
Estrogen
dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika distimulasi oleh FSH. Sel-sel sertoli juga
mensekresi suatu protein pengikat androgen yang mengikat testoteron dan
estrogen serta membawa keduanya ke dalam cairan pada tubulus seminiferus. Kedua
hormon ini tersedia untuk pematangan sperma
RESUME EPISIOTOMI
OLEH
DENI SYAFITRI
DIII KEBIDANAN
IA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar